Televisi Sebagai Industri Budaya

Televisi merupakan salah satu produk teknologi yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan mayarakat. Televisi menyajikan informasi-informasi yang beragam dan bermanfaat untuk menambah wawasan. Dalam perkembangan televisi tidaklah menyajikan informasi yang semata-mata bebas nilai. Televisi dalam berbagai tayangannya senantiasa menyodorkan berbagai nilai apakah itu disadari atau tidak oleh permirsanya. Sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi pasar, televisi tidak luput dari bidikan sistem ini sebagai agen industri massa. Televisi di sini tidak sekedar dijadikan agen industri barang dan jasa namun telah berubah menjadi industri budaya di mana melalui iklan-iklan yang ditampilkan oleh televisi telah membawa sebuah bentuk gaya hidup bagi masyarakat yang menontonnya. Melalui iklan-iklan televisi inilah terkandung berbagai ide dan pemahaman. Penyajian iklan di televisi dikemas dengan cara-cara yang menarik dan mengundang hasrat pemirsa untuk membeli. Mungkin sekilas tidak ada yang salah dengan upaya seperti ini karena wajar jika para penjual produk berusaha untuk menampilkan produknya sebaik mungkin agar khalayak menjadi tertarik untuk membeli. Namun jika dicermati, iklan-iklan yang ditonton oleh permirsa memberikan efek nilai bagi mereka. Iklan sabun adalah sebuah contoh menarik untuk dibahas. Pada awalnya sabunnya hanyalah produk berupa barang yang dikomersilkan melalui iklan televisi, namun dalam menampilkan sabun ini tidak serta merta hanya dengan gambar sabun dan merknya tapi dikemas sebentuk cerita atau narasi sehingga menjadi sepaket peristiwa/kejadian yang direkam di dalam otak pemirsa. Dalam istilah James Lull strategi ini disebut Sistem Gambaran (Image System). Cerita di dalam iklan ini menggunakan tata bahasa yang bersifat membujuk dan mempengaruhi pemikiran khalayak melalui jargon-jargon seperti; “putih itu cantik”, “kulit halus seperti bintang iklan”. Semakin lama iklan ini ditonton oleh permirsa melalui proses kultivasi atau penanaman ide maka akan terinternalisasi iklan ini ke dalam pemikiran pemirsa yang menontonnya terutama perempuan yang mendapat pemahaman bahwa putih itu cantik. Dan dia akan merasa risih dan tidak percaya diri jika kulitnya tidak seperti yang diharapkan oleh iklan dan seolah-olah juga diharapkan oleh masyarakat. Efek dari iklan dan jargon/mitos bahwa “putih itu cantik” terhadap pemahaman penonton adalah strategi penjual produk sabun agar pemirsa yang menonton membeli produknya. Namun siapa sangka jika mitos kulit putih cantik itu telah berefek secara psikologis bagi banyak perempuan sehingga mereka terobsesi untuk menjadi putih dan cantik dengan memburu semua produk kecantikan yang mengeluarkan biaya yang tidak sedikit bahkan melebihi biaya untuk kebutuhan sehari-hari. Akhirnya orang menjadi tidak realistis lagi untuk mengeluarkan uang demi “tuntutan” zaman. Konsumtivisme menjadi efek terburuk dari tercekokinya pemirsa oleh mitos-mitos yang ditayangkan oleh iklan di televisi. Dari ide bahwa “kulit putih itu cantik” telah berimbas pada perkembangan sebuah ideologi pasar yaitu kapitalisme. Penjual produk berusaha untuk meningkatkan income-nya tanpa ampun dengan mendirikan perusahaan-perusahaan raksasa serta mengakuisisi perusahaan kecil agar menghasilkan keuntungan besar dan kalau bisa lintas benua.Dengan meluasnya kapitalisme ini dan termediakan oleh televisi melalui iklan maka dengan menyesuaikan masyarakat pun mengikut pada sistem ini karena dalam otak mereka apa-apa yang disampaikan oleh iklan telah menjadi pemahaman dan keyakinan bagi mereka bahwa itu benar. Sehingga dengan serta merta hegemoni ideology pasar ini pun berjalan dengan mulus. Masyarakat diarahkan melalui pemahaman yang mereka dapat melalui iklan televisi yang taken for granted sehingga muncul pemahaman bahwa zaman telah berubah maka kita pun harus berubah. Mereka tidak sadar jika yang mengubah zaman adalah aktor-aktor yang tersembunyi dibalik penggiat ideologi pasar kapitalisme. Di tangan para pemodal inilah zaman dikonstruksi menjadi apa yang dianggap oleh khalayak yang tidak sadar bahwa “kita harus mengikuti perkembangan zaman dan apa yang menjadi tuntutan zaman”. Para pemodal dan penjual produk barang dan jasa ini menjadikan budaya dan life style sebagai penyokong usaha mereka. Budaya dan life style di sini adalah sekumpulan konsep, ide dan cara pandang terhadap sesuatu yang mengejawantah melalui produk barang dan jasa. Secara tidak langsung masyarakat menjadi agen terciptanya konsumtivisme. Mereka sendiri yang akhirnya melanggenggakan cara pandang ini dengan dasar pemahaman yang mereka terima melalui iklan-iklan di televisi. Konsumtivisme membuat orang berkeinginan untuk membeli produk atas dasar tuntutan gaya hidup bukan kebutuhan. Bahkan konsumtivisme lebih dari itu, orang menjadi tidak realistis dan tidak peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Tidak ada kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya dan tidak menyadari kesenjangan kesejahteraan yang terjadi di masyarakat. Kemiskinan bukanlah dipandang sebagai realitas dan fakta yang ada di depan mata tapi hanya sekedar angka-angka yang menjadi perbincangan orang-orang elit yang kaya tanpa rasa bersalah.Lalu dengan maraknya industri budaya saat ini maka masih adakah jalan untuk menggiringnya pada jalan yang akan membawa manfaat untuk masyarakat? Di sini industri budaya seharusnya diatur oleh negara agar dapat dikontrol dengan baik dan dapat memberikan kontribusi yang seimbang untuk kesejahteraan masyarakat. Negara berperan penting dalam hal ini karena negara memiliki kekuatan dari sisi hukum dan aturan.

Search