Industri Musik Korelasi dari life Style

Musik sebagai salah satu produk budaya telah mengalami peralihan dari penyajiannya. Dulu orang menciptakan dan menikmati musik sebagaimana adanya berdasarkan keinginan dan hasrat mereka. Dan ini pun bersifat eksklusif karena tidak dapat dinikmati kapan pun dan dimana pun. Namun sekarang musik telah berubah menjadi barang dagangan di mana polesan-polesan berbagai macam kepentingan telah ikut campur tangan ke sini—sebuah produk budaya yang pada awalnya diritualkan karena ketinggiannya dari sisi ide dan penciptaannya yang bersifat eksklusif. Fenomena inilah yang dikatakan oleh Adorno sebagai industri budaya di mana segala sesuatu yang berasal dari produk dan simbol budaya harus distandardisasikan, dihomogenisasikan, dikomersialisasikan, dikomodifikasikan karena semua hal harus menjadi “komoditi” sehingga Adorno pun memandang musik telah menjadi “commodity listening” (Ibrahim, 2007: 88).

Bidikan industri musik yang sangat telak adalah anak muda. Dengan segala kekompleksan yang ada pada diri anak muda, kapitalisme masuk menyusup melalui musik sebagai mediator dan penggerak berjalannya industri budaya dengan memunculkan identitas pada musik itu sendiri.

Musik Populer sebagai Identitas dan Refleksi Diri dan Halusinasi Kaum Muda

Pengkonsumsian musik tidak lepas dari sebuah ide tentang “pleasure” dan “leisure”. Ideologi “pleasure” hanya akan ampuh kalau “leisure time” masyarakat berhasil ditaklukan (Ibrahim, 2007: 89). Anak muda adalah mangsa yang sangat menggiurkan untuk merealisasikan ideologi ini. Pada masyarakat kapitalis menurut Parsons, anak muda atau remaja merupakan suatu kategori sosial yang muncul seiring perubahan peran keluarga yang disebabkan oleh perkembangan kapitalisme (Barker, 2005: 424). Anak muda telah mengedapankan masa muda sebagai lahan untuk mengedepankan sensasi keberbedaan mereka yang kemudian direpresentasikan sebagai konsumen fesyen, gaya dan berbagai aktivitas waktu senggang yang suka bermain-main (Barker, 2005: 426).

Pembentukan budaya bermain-main dan waktu senggang ini dikonstruksi sedemikan rupa dan dijadikan sebagai sesuatu yang signifikan serta harus diisi dan dinikmati dengan cara-cara yang mengasyikkan dan tentunya dengan konsumsi. Hanya dengan konsumsilah waktu senggang itu dapat dibunuh dan menjadi berharga. Ini pula yang berlaku pada industri-industri lainnya seperti film, periklanan, majalah, televisi dll. Dan konsep ini sudah menjadi terstruktur dan tersistem secara konsisten dalam seluruh ranah industri kapitalisme.

Menurut Idy Subandy Ibrahim apabila waktu luang anak muda berhasil dikolonisasi atau dihegemoni lewat ideologi kebudayaan pop yang dikemas dengan cantik dan menawan seperti lewat musik, maka tidak hanya keuntungan kapital yang bisa diraih, tetapi juga selera, mimpi, dan imajinasi mereka pun bisa didikte dan bahkan secara politik mereka bisa diapatiskan. Karena signifikansi ideologi kebudayaan massa itu justru ditentukan di dalam proses komsumsi itu sendiri (Ibrahim, 2007: 89).

Jika kita melihat program musik televisi MTV maka hal ini tergambar sebagai sebuah bentuk konstruksi ideologi yang dibuat terhadap anak muda. Sebuah ide global bahwa musik adalah bagian dari hidup anak muda dan menjadi identitas mereka dengan pelabelan istilah “anak nongkrong MTV”. Dengan standar hiburan global, MTV mampu menyihir khalayak anak muda Indonesia dengan cara menyesuaikan konsep-konsep global tersebut dengan budaya lokal. Adanya pemodifikasian seperti ini secara tidak langsung telah menciptakan sebuah identitas baru di kalangan anak muda yaitu sebuah gaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai budaya hasil persilangan (hybrid) yang dikomoditaskan. Penyajian nilai-nilai budaya hybrid yang menjadi ciri dan “keharusan” bagi anak muda ini, yang jika tidak dilakukan akan mendapat sanksi moral yaitu “enggak gaul”, membuat anak-anak muda secara tidak sadar telah terporosok untuk dapat bagaimana bisa diterima secara utuh sebagai anak muda yang diinginkan oleh MTV dan khalayak yang memiliki pandangan yang sama dengan mereka. Maka di sinilah konsumerisme itu berjalan dengan mulus karena adanya sebuah kebutuhan bagi anak-anak muda untuk menjadi bergaya dan gaul dalam hal fesyen dan selera musik.

Mencermati perkembangan munculnya band-band baru di tanah air maka ini adalah pertanda bagaimana budaya pop itu telah bekerja. Musik-musik yang dilahirkan oleh anak-anak muda sekarang tak lebih dari sekedar cerminan realitas kehidupan mereka seperti percintaan, harapan atau mimpi-mimpi. Hal-hal inilah yang kemudian dijual kepada khalayak sebagai sesuatu yang juga mereka kehendaki, sesuatu yang juga mencerminkan diri mereka, yang istilah anak mudanya “gue banget”. Jadi musik bukanlah suatu karya seni bernilai tinggi dengan melalui sebuah proses yang serius dan terstruktur namun hanya sekedar refleksi dari kehidupan yang dijalani dan akan dinikmati selama itu menyenangkan dan menghibur untuk sementara waktu dari kegundahan dan pelampiasan dari realitas yang tidak ideal. Menurut Adorno fenomena-fenomena kultural seperti musik pop berfungsi sebagai suatu bentuk “perekat sosial”, menempatkan orang pada realitas kehidupan yang mereka jalani. Hal ini karena kebanyakan orang di dalam masyarakat kapitalis menjalani kehidupan yang dimiskinkan dan tidak bahagia. Khayalan dan kebahagiaan, resolusi dan rekonsiliasi, yang ditawarkan oleh musik pop membuat orang sadar betapa banyak kehidupan nyata mereka kehilangan ciri-ciri tersebut, betapa mereka merasa belum terpenuhi dan terpuaskan (Strinati, 2004: 77).

Maka jika dikatakan musik adalah sebagai pelarian dimana mereka dapat berhalusinasi tentang keadaan ideal merupakan suatu hal yang dapat diterima ketika banyak realitas di lapangan yang bertentangan dengan kehendak ideal mereka tentang kebahagiaan dan kemapanan. Dan bisa juga halusinasi ini muncul karena memang dikonstruksi oleh pasar sehingga terbentuklah konsep-konsep ideal dalam diri anak muda yang menginginkan keutuhan yang sempurna.

Maka wajar jika genre musik yang ditelurkan oleh anak-anak muda sekarang memiliki standar dan model yang sama karena mengikuti selera pasar dan memenuhi keinginan khalayak secara umum yang tak lain dan tak bukan membicarakan tentang kesadaran palsu yang penuh angan-angan dan mimpi. Namun dari sudut pandang orang-orang yang bergerak dalam industri musik hal yang dipentingkan di sini adalah bagaimana musik dapat diterima dan laku di pasaran yang mencerminkan aspek konsumsi dan proses produksi yang merupakan ciri masyarakat kapitalis. Berdasarkan pandangan Adorno orang tidak perlu bertahan dengan standardisasi musik untuk jangka panjang yang sangat lama, sehingga rasa individualisme yang ada di dalam proses konsumsi musik dapat dilestarikan. Maka dari itu “korelasi standardisasi musik yang terjadi adalah individualisasi semu” (Strinati, 2004: 74). Adorno menyebut individualisasi semu (pseudo-individualization) karena “standardization of song hits keeps the customer in line by doing their listening for them, as it were. Pseudo-individualization, for its part, keeps them in line by making them forget that what they listen to is already listened to for them, or “pre-digested” “(Storey, 1996: 94).

Jadi bisa dikatakan anak-anak muda yang menjadi konsumen musik adalah korban dari pelanggengan status quo yang dihendaki oleh pasar. Hasrat tentang impian dan angan-angan kebahagiaan serta identitas yang dihembuskan melalui keberadaan industri musik harus tetap dipertahankan agar pasar tetap berjalan dan tidak terganggu oleh perlawanan dan gusuran ide-ide dari pihak-pihak yang berseberangan.

Musik dalam konteks sekarang terutama musik populer telah menancapkan eksistensi dan pengaruhnya di kalangan anak muda di mana industri musik yang menentukan penggunaan nilai produk yang diproduksinya. Pada orang yang mengkonsumsinya secara pasif mungkin baik, namun yang parah adalah ketika mereka telah menjadi orang dibodohi dalam hal budaya di mana mereka dimanipulasi secara ideologis oleh musik yang mereka konsumsi. Rosselson menegaskan bahwa “the music industry gives ‘the public what they want it to want’ “ (Storey, 1996: 96). Ini maksudnya adalah bagaimana sesuatu yang diproduksi menentukan bagaimana dia dikonsumsi. Industri musik adalah industri kapitalis, sehingga produknya adalah produk kapitalis dan pada saat yang sama melahirkan ideologi kapitalis. Jadi ini merupakan sebuah hal yang sifatnya sepaket dan tidak terpisahkan. Dengan konsep yang tersistematis seperti inilah industri ini tetap bertahan.

Tentunya dalam kapitalisme sendiri yang menjadi pokoknya adalah produksi dan konsumsi untuk tujuan keuntungan. Sedangkan efek pada orang yang mengkonsumsi musik pop adalah semacam “perekat sosial” dimana kenikmatan dan katarsisme-nya membuat orang untuk berhenti pada realitas kehidupan yang keras dan hambar dari sebuah masyarakat kapitalis (Strinati, 2004: 78). Dan musik ini adalah pencegah orang untuk melawan dominasi kapitalisme itu sendiri karena secara tidak sadar mereka telah terhegemoni oleh nuansa dan gaya hidup itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh James Lull bahwa;

Sheer repetition of ideological themes can send ideas deep into audience members’ individual and collective consciousness. The persuasive effect is always working; it doesn’t occur only at the moment of exposure. Particular expressions, and the values and assumptions they uphold, reside like a recessive inventory of ideas in the memory system of people. These ideological memory traces are evoked contextually. (Lull, 2000: 22)

Konsumsi menurut Storey adalah “always more than an economic activity—the consuming of products/the use of commodities to satisfy material needs. Consumption is also about dreams and desires, identities and communication” (Storey, 1996: 132).

Melihat definisi konsumsi di atas maka industri musik yang menjual kebahagiaan semu, identitas dan angan-angan bagi kaum muda telah merepresentasikan secara tidak langsung ideologi kapitalisme yang dibawa oleh industri musik itu sendiri. Dalam industri musik begitulah sistemnya bekerja. Anak-anak muda dirayu oleh lirik-lirik dan lantunan musik yang mengasyikkan kemudian muncul hasrat untuk melampiaskan hasrat dan kekosongan dengan terus mendengarkan musik tersebut dengan cara memilikinya, tak cukup hanya itu tapi juga ikut serta menghayatinya dengan menjadi bagian dari fans grup musik atau artis yang disukainya tersebut. Kemudian diteruskan dengan mengikuti perkembangan musik tersebut melalui majalah-majalah musik dan mengikuti konser-konsernya. Ini adalah sebuah aliran konsumsi yang secara tidak sadar dilakukan oleh anak muda untuk memuaskan dirinya dan memperlihatkan siapa dirinya. Dan seolah-olah dia melebur dengan orang-orang yang senasib dan sepenanggungan dengan dirinya ketika merasakan bahwa musik yang didengarnya “gue banget”.

Subkultur Anak Muda dan Musik

Di sisi lain anak muda yang hasrat-hasratnya yang dipasung dan mengalami ketidaknyaman dengan kemapanan yang ada membuat haluan yang berseberangan dengan mainstream yang ada. Kondisi ini menggambarkan kondisi anak muda yang tengah berada di persimpangan jalan yaitu apakah terbentuknya haluan baru ini adalah sebuah bentuk “perlawanan” ataukah “pelarian” dari keterasingan di dunia yang penuh dominasi dan tarik menarik kekuasaan. Kelompok anak-anak muda ini digolongkan oleh kajian budaya pada kelompok subkultur.

Ciri subkultur dalam kajian budaya menurut Barker (2005: 427) awalan “sub” berkonotasi dengan kekhasan dan perbedaan dari masyarakat dominan atau mainstream. Ini dipertegas lagi oleh Thornton (dalam Barker, 2005: 427)) dengan kata lain, subkultur dikutuk dengan dan/atau menikmati suatu kesadaran “kelainan” (“otherness”) atau perbedaan.

Subkultur anak muda dicirikan dengan dengan perkembangan gaya-gaya tertentu diantaranya adalah musik, cara berpakaian, ritual, dan jargon. Kemunculan ide subkultur yang dipelopori anak-anak muda ini yang mengejawantah melalui musik underground adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sehingga fenomena ini tidak lepas dari persoalan kelas.

Fenomena Band Underground dalam Industri Musik di Indonesia

Musik underground masuk ke Indonesia pada era 80-an diimpor dalam bentuk komoditas industri yang dimotori oleh perusahaan rekaman indie. Jenis musik ini diterima oleh kalangan muda yang anti kemapanan dan kemudian berinisiatif membuat band yang sama.

Dalam perjalanannya identitas komunitas musik ini di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pergolakan sosial, politik, ekonomi. Beberapa peristiwa penting di tahun 1994 seperti pemberedelan media oleh pemerintah Orde Baru, membawa semangat perlawanan dan gerakan underground (bawah tanah) yang memperjuangkan kemerdekaan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Dalam lirik-lirik lagu mereka terlihat penentangan terhadap penindasan dan totalitarianisme. Dengan konsep lirik yang emosional dan sarkastik mereka menumpahkan semua kegalauan dan kegelisahan terhadap ketidakadilan sistem kekuasaan.

Pada tahun 1994 tersebut, aksi perlawanan muncul dalam bentuk demonstrasi, penerbitan media-media independen, dan pertunjukan-pertunjukan musik. Pada kurun waktu pertengahan `90-an, ruang seperti GOR Saparua menjadi tempat penting bagi pertemuan komunitas underground Bandung (Robby Nugraha, "PR", 12/2/08). Pada masa-masa ini komunitas underground menjamur di kota Bandung dan Jakarta. Mereka kerap melaksanakan pertunjukan-pertunjukan atas solidaritas dari pendukung-pendukung komunitas ini.

Memasuki tahun 2000-an karakter militansi dan kekompakan komunitas underground mulai berkurang karena akses terhadap ruang pertunjukan dibatasi dengan cara pengelola meningkatkan harga sewa sehingga tidak terjangkau lagi. Dalam memproduksi album pun mereka lebih menempuh jalur indie label. Hampir seluruh kelompok musik ini menolak komersialisasi oleh perusahaan besar.

Namun kondisi krisis di atas membuat mereka berupaya untuk mendapatkan pemasukan untuk kelangsungan band mereka. Komunitas ini lalu menciptakan "pasar" sendiri untuk melawan pasar besar yang sedemikian mapan. "Pasar" mereka melalui jalur distribusi sendiri yang lebih dikenal sebagai distro. Tidak hanya kaset, kemudian distro ini juga menjual atribut-atribut underground tersebut. Musik dan mode seperti bersimbiosis di mana keduanya saling mendukung. Bahkan dari sisi fesyen dari sisi gaya berpakaian, model rambut, dandanan wajah pun mereka memiliki ciri tersendiri yang akhirnya menjadi model bagi anak-anak muda zaman sekarang lepas dari apakah mereka menganut ideologi punk underground ataukah tidak.

Ironisnya di sini bahwa lambat laun pun mereka (grup underground) telah terseret ke arus pasar bebas dan model sistem industri budaya yang dilakukan oleh kapitalisme walaupun semangatnya tetap menolak kemapanan. Satu hal yang sulit dibantah adalah bahwa musik dan mode memang berhubungan dan saling menguntungkan. Dan mereka membutuhkan industri ini tetap berjalan untuk kelangsungan eksistensi mereka.

Dan yang menarik lagi adalah fenomena menceburnya beberapa grup underground ini ke salah satu major label terbesar di negeri ini yang sifatnya komersial. Sebut saja grup band underground Burgerkill asal Bandung yang dulunya konsisten dengan perusahaan rekaman indie sekarang justru mereka bergabung dengan Sony Music Entertainment Indonesia. Dan mengejutkannya lagi Burgerkill mengikuti sebuah festival musik dan masuk kedalam nominasi pada salah satu event Achievement musik terbesar di Indonesia "Ami Awards". Dan secara mengejutkan mereka berhasil menyabet award tahunan tersebut untuk kategori "Best Metal Production". Padahal konsep dari band underground sendiri menolak hal-hal yang berbau kemapanan dan industri kapitalis yang telah menggurita dalam industri musik Indonesia (http://www.balipost.com).

Kapitalisme tidak sekedar berpuas diri dengan apa yang telah diusahakannya secara terang-terangan namun juga berusaha mencengkram wilayah-wilayah lain yang berseberangan dengan pemahamannya dan dengan cantik menghegemoninya melalui kekuasaan agar menjadi sesuatu yang homogen. Dalam kapitalisme semuanya mungkin untuk masuk ke ranah permainannya. Adanya pencairan-pencairan gagasan dan penyajian seperti konsep global yang dilokalkan selama tidak menghilangkan prinsip dasar yaitu produksi dan konsumsi adalah sah-sah saja bagi industri budaya kapitalisme.

Jika melihat pada argumentasi naïf Herbert J. Gans bahwa;

“in order to produce culture cheaply enough so that people of ordinary income can afford it, the creators of popular culture, faced with a heterogeneous audience, must appeal to the aesthetic standards it holds in common, and emphasize content that will be meaningful to as many in the audience as possible” (Gans, 1974: 22)

Maka wajar jika kapitalisme dapat berkompromi dalam berbagai cara dan bentuk selama menawarkan produk standar estetika sehingga distandarkan untuk memenuhi kebutuhan audiens yang heterogen serta lebih mementingkan isi yang bermanfat untuk audiens yang banyak”. Jadi tujuan intinya di sini adalah menjaring konsumen sebanyak-banyaknya sehingga mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda bagi aktor-aktor di balik industri budaya.

Menurut Idy Subandi Ibrahim, underground haruslah juga dipahami dalam konteks kapitalisasi budaya, di mana dalam konteks ini aliran musik seperti ini bukanlah semata sebagai arena ekspresi resistensi kultural, tetapi justru untuk merebut pangsa pasar pendengar, yakni subkultur anak muda yang tengah panik mencari dan mendefinisikan identitasnya. Sehingga ia juga bisa menjadi ajang “pelarian” dari dunia yang dirasa rumit, “escape from problem”. Karena itulah, aliran musik ini sebenarnya masuk dalam sebuah dunia yang terbelah: Di satu sisi, ia bisa menjadi cermin pemberontakan atau pembangkangan anak muda terhadap hegemoni kapitalisme yang memasung kreativitas dan memoles warna musik yang seragam dan kental warna pasarnya. Di sisi lain ia justru menjadi ajang “pelarian” dari sistem sosial dan politik yang terus menerus mengalami pembusukan (social and political decay) sambil mendesakkan diri untuk menjadi bagian dari subordinat dan ruang hegemoni kapitalisme baru (Ibrahim, 2007: 94).

Maka semua akan senantiasa berjalan sebagaimana adanya dan orang-orang tetap berkoar-koar tentang identitas mereka yang anti kemapanan dan ketidakadilan yang disajikan oleh musuh mereka sendiri. Pada akhirnya mereka melawan dengan kapitalisme itu sendiri.

Referensi:

Barker, Chris, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Bandung, Bentang Pustaka, 2005.

Gans, Herbert, Popular Culture and High Culture: An Anaysis and Eveluation of Taste, New York, Basic Books, Inc Publishers, 1974.

Ibrahim, Idy Subandi, Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di IndonesiaKontemporer, Yogyakarta, Jalasutra, 2007.

Lull, James, Media, Communication, Culture: A Global Approach, Polity Press. 2000.

Strinati, Dominic, Popular Culture: Pengantar menuju Teori Budaya Populer, Bandung, Bentang Pustaka, 2004.

Storey, John, Cultural Studies and The Study of Popular Culture: Theories and Methods, Edinburgh, Edinburgh University Press, 1996.

http://www.balipost.com/balipostcetaK/2003/12/21/g1.html

http://www.burgerkillofficial.com/mainsite/bk-links.php

Search