Persaingan

Sebagai prinsip dari perkembangan dan informasi persaingan melintasi seluruh alam: mulai dari perjuangan kupu-kupu untuk mendapatkan cahaya matahari terbaik hingga penghargaan pulitzer, persaingan dalam olimpiade, penemuan sumber energi regeneratif atau persaingan dalam sistem-sistem pendidikan, tatanan ekonomi dan konstitusi negara.

Kekhawatiran terhadap persaingan

Persaingan bukanlah suatu permainan mencari untung di mana kemudian keuntungan seseorang selalu berarti kerugian bagi orang yang lain ( Montaigne, essay XXI ). Tapi, berdasarkan pengalaman persaingan membawa “keuntungan bersih” bagi semua orang. Hidup adalah perubahan yang terus-menerus, dan setiap perubahan melahirkan persaingan untuk mencari solusi-solusi baru, baik dengan si pemenang ataupun si pecundang. Perubahan dan persaingan seringkali menuntut manusia untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru di mana pada saat yang sama selalu muncul kekhawatiran akan menjadi yang kalah atau pecundang dalam penyesuaian diri tersebut. Kalau diperhatikan dengan lebih teliti, meluasnya kekhawatiran terhadap persaingan pada saat perubahan cepat terjadi pada dasarnya adalah ketakutan terhadap perubahan. Namun, khususnya bagi mereka yang melihat lingkungan sosial mereka terancam hal tersebut tidaklah menjadi soal. Fakta inilah kemudian oleh para penentang globalisasi yang anti ekonomi pasar dimanfaatkan sebagai titik tolak kritik mereka. Mereka berpendapat persaingan adalah faktor penyebab timbulnya masalah dan ketakutan seseorang. Karenanya persaingan harus dibatasi, meskipun persaingan itu membantu semua orang memecahkan masalah yang timbul di saat proses penyesuaian diri terhadap perubahan yang terus-menerus tersebut dilakukan.

Kemajuan teknis-organisatoris yang dipicu oleh teknologi informasi dan komunikasi baru telah merubah secara drastis dunia kerja bagi sebagian besar manusia. Manusia dituntut untuk selalu belajar hal-hal yang baru di saat pendidikan dan peluang di ® pasar kerja semakin terkait erat. Lapangan kerja baru umumnya terdapat pada sektor jasa. Sementara sektor ekonomi lain peluangnya berkurang karena semakin ketat pasar kerja semakin banyak pula lapangan kerja yang hilang, meski peluang baru tetap ada (tentang topik perubahan struktur dan persaingan global lihat “Laporan sektor jasa 2000” pada www.preussag.de dan Institut Ekonomi Jerman, iwd Nr. 50/2000).

Hampir semua orang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk belajar, ® pendidikan dan pekerjaan. Jadi, adanya ketakutan akan persaingan di saat tuntutan kualifikasi dalam pendidikan dan profesi mengalami perubahan drastis, bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Sementara pembatasan persaingan tidak akan memberikan keamanan yang diinginkan. Orang-orang yang ditekan oleh persaingan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi justru dapat dibantu dalam ® ekonomi pasar. Ini merupakan lahan bagi ® kebebasan dan ® tanggungjawab, bagi ® solidaritas dengan asas mutlak ® subsidiaritas.

Siapa yang tidak menerima persaingan sebagai bagian dari solusi bagi masalah-masalah globalisasi, tapi sebaliknya mengkambinghitamkannya sebagai pemicu masalah maka ia juga tidak memahami suatu hal penting. Yakni bahwa sejalan dengan perubahan drastis dunia kerja melalui teknologi informasi dan komunikasi baru itu masalah-masalah penyesuaian diri menjadi akibat dari perubahan global yang dipicu dengan diintegrasikannya negara-negara berkembang yang sukses dan sejak tahun 90-an negara-negara sosialis ke dalam pembagian kerja ekonomi dunia. Karena itu, melihat perubahan struktur di Jerman Timur dan negara-negara tetangga yang terkena arus reformasi, apa yang dinyatakan kelompok Kronberger sangat sesuai dengan keadaan Jerman:” Persetujuan terhadap asas persaingan sebagai bentuk dari pemersepsian peluang dalam kehidupan sedang mengalami percobaan berat.”

Masalah penyesuaian diri dan kekhawatiran manusia harus ditanggapi dengan serius. Di samping membuat kebijakan yang konsekuen untuk memperbanyak lapangan kerja dan reformasi sistem sosial, bentuk lain dari upaya serius itu adalah menjelaskan tentang fungsi sosial dari persaingan itu sendiri. Karena bersamaan dengan cepatnya perubahan kebutuhan akan keamanan pun meningkat, termasuk kecenderungan untuk melindungi harta benda apapun risikonya. Dengan kata lain, perlindungan terhadap persaingan itu menuntut keamanan yang lebih.

Persaingan sebagai proses penemuan

F.A. von Hayek telah menyimpulkan fungsi sosial persaingan dalam gambaran plastis “persaingan sebagai proses penemuan”: masa depan tidak jelas dan sumber tidak cukup. Persaingan memicu orang untuk berhemat dengan sumber-sumber yang tidak memadai tersebut. Persaingan memungkinkan manusia membuat berbagai percobaan dan kesalahan, membuat orang menemukan sesuatu yang sama sekali baru. Contoh yang paling nyata adalah apa yang dapat dilihat di Berlin, tepatnya Lapangan Potsdam. Orang bisa membayangkan bagaimana 100 tahun yang lalu barang-barang baru, jalan-jalan transportasi dan informasi ditemukan oleh warga dalam persaingan kreatifitas dan kerajinan. Tidak ada perancang pusat yang kiranya akan dapat memikirkan ke arah sana atau bahkan untuk mengkoordinasikannya pun ia tak akan bisa.

Persaingan sebagai “penghancuran yang kreatif”

Penemuan atau penciptaan barang-barang baru, proses produksi, keuntungan tempat dan sistem informasi juga berarti penyesuaian. Mula-mula barang-barang dan teknik produksi yang mampu bersaing itu harus mengalami penyesuaian dan kemudian otomatis faktor lapangan kerja dan tempat produksinya, seperti yang terjadi pada penenun Schlesia Hauptmann yang alat tenunnya diganti dengan alat tenun mekanis. Schumpeter menamakan sisi persaingan ini “penghancuran yang kreatif”. Artinya, semakin inovatif seseorang sebagai pionir dalam menemukan hal baru, semakin cerdik ia sebagai peniru memperluas pasar sehingga barang-barang baru itu menawarkan lebih banyak kesejahteraan kepada semua orang, maka semakin besar pula peluang sosial yang berarti juga semakin banyaknya masalah sosial.

Aturan persaingan dan kebebasan

Aturan tentang persaingan dengan banyak penawar pada pasar terbuka harus dibuat sedemikian rupa agar daya cipta orang-orang yang bebas dimotivasi untuk berani menerima persaingan yang tidak nyaman sekalipun, sementara hasil yang akan diperoleh belum jelas. Prestasi warga harus selalu diutamakan, apakah itu dengan cara memberikan peluang untuk ambil bagian pada keuntungan-keuntungan dari hasil kerja setiap orang sebagai akibat dari banyaknya pesaing baru dalam pasar terbuka yang memicu penurunan harga dan peningkatan mutu , ataupun melalui redistribusi oleh pemerintah dengan cara penaturan pembayaran pajak hasil keuntungan.

Karena itu pemerintah harus menjamin hal-hal berikut:

¨ akses bebas ke dalam pasar-pasar terbuka

¨ persaingan untuk mengawasi kekuasaan

¨ stabilitas nilai uang untuk keamanan perencanaan

¨ perlindungan terhadap hak-hak milik pribadi

¨ tanggungjawab (“kebebasan dan tanggungjawab”)

¨ kesinambungan kebijakan ekonomi

Hal-hal di atas merupakan “prinsip pembentuk” ekonomi pasar sebagai “aturan persaingan”, sebagai prinsip dasar kebebasan. Semakin baik asas-asas dasar ini direalisasikan, terutama oleh pasar kerja yang fleksibel dewasa ini, maka semakin efektif pula upaya sosial melalui bantuan subjek terarah membuat setiap individu menanggung beban penyesuaian diri terhadap perubahan struktur. Agar persaingan dapat berjalan dengan harga pasar, maka bidang transfer sosial harus dipisahkan dari jangkauan pasar. Untuk bantuan yang bersifat terarah dan bantuan sosial yang dapat dipercaya kebijakan sosial yang baik membutuhkan papan-papan harga dan persaingan

Perubahan sosial budaya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

1. tekanan kerja dalam masyarakat
2. keefektifan komunikasi
3. perubahan lingkungan alam

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

. Penetrasi kebudayaan

Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

Penetrasi damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.

Penetrasi kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat[rujukan?].

. Cara pandang terhadap kebudayaan

1. Kebudayaan sebagai peradaban

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

2. Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

3. Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi

Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.

. Kebudayaan di antara masyarakat

Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

* Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.

* Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

* Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.

* Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

. Kebudayaan menurut wilayah

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kebudayaan menurut wilayah

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.

Afrika

Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan Arab dan Islam.

Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat.

Amerika

Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.

Asia

Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam. Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mempengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.

Australia

Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia, Aborigin.

Eropa

Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat". Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.

Timur Tengah dan Afrika Utara

Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di daerah ini.

. Referensi

1. Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought, p. 488.
2. Dari bahasa Arab, artinya: "agama langit"; karena dianggap diturunkan dari langit berupa wahyu.
3. Karena dianggap muncul dari suatu tradisi bersama Semit kuno dan ditelusuri oleh para pemeluknya kepada tokoh Abraham/Ibrahim, yang juga disebutkan dalam kitab-kitab suci ketiga agama tersebut.
4. Templat:Cite study, based on American Jewish Year Book. 106. American Jewish Committee. 2006. http://www.ajcarchives.org/main.php?GroupingId=10142.
5. Adherents.com - Number of Christians in the world
6. Miller, Tracy, ed. (2009), Mapping the Global Muslim Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, Pew Research Center, http://pewforum.org/newassets/images/reports/Muslimpopulation/Muslimpopulation.pdf, hlm.4"
7. Boritt, Gabor S. Lincoln and the Economics of the American Dream, p. 1.
8. Ronald Reagan. "Final Radio Address to the Nation".
9. O'Neil, D. 2006. "Processes of Change".

musik Teori


Teori musik merupakan cabang ilmu yang menjelaskan unsur-unsur musik. Cabang ilmu ini mencakup pengembangan dan penerapan metode untuk menganalisis maupun menggubah musik, dan keterkaitan antara notasi musik dan pembawaan musik.

Hal-hal yang dipelajari dalam teori musik mencakup misalnya suara, nada, notasi, ritme, melodi, Kontrapun Musik, harmoni, Bentuk Musik, Teori Mencipta Lagu, dlsb.

* 1 Suara
* 2 Nada
* 3 Ritme
* 4 Notasi
* 5 Melodi
* 6 Harmoni
* 7 Referensi

[sunting] Suara

Teori musik menjelaskan bagaimana suara dinotasikan atau dituliskan dan bagaimana suara tersebut ditangkap dalam benak pendengarnya. Dalam musik, gelombang suara biasanya dibahas tidak dalam panjang gelombangnya maupun periodenya, melainkan dalam frekuensinya. Aspek-aspek dasar suara dalam musik biasanya dijelaskan dalam tala (Inggris: pitch, yaitu tinggi nada), durasi (berapa lama suara ada), intensitas, dan timbre (warna bunyi).
[sunting] Nada

Suara dapat dibagi-bagi ke dalam nada yang memiliki tinggi nada atau tala tertentu menurut frekuensinya ataupun menurut jarak relatif tinggi nada tersebut terhadap tinggi nada patokan. Perbedaan tala antara dua nada disebut sebagai interval. Nada dapat diatur dalam tangga nada yang berbeda-beda. Tangga nada yang paling lazim adalah tangga nada mayor, tangga nada minor, dan tangga nada pentatonik. Nada dasar suatu karya musik menentukan frekuensi tiap nada dalam karya tersebut.
[sunting] Ritme

Ritme adalah pengaturan bunyi dalam waktu. Birama merupakan pembagian kelompok ketukan dalam waktu. Tanda birama menunjukkan jumlah ketukan dalam birama dan not mana yang dihitung dan dianggap sebagai satu ketukan. Nada-nada tertentu dapat diaksentuasi dengan pemberian tekanan (dan pembedaan durasi).
[sunting] Notasi

Notasi musik merupakan penggambaran tertulis atas musik. Dalam notasi balok, tinggi nada digambarkan secara vertikal sedangkan waktu (ritme) digambarkan secara horisontal. Kedua unsur tersebut membentuk paranada, di samping petunjuk-petunjuk nada dasar, tempo, dinamika, dan sebagainya.
[sunting] Melodi

Melodi adalah serangkaian nada dalam waktu. Rangkaian tersebut dapat dibunyikan sendirian, yaitu tanpa iringan, atau dapat merupakan bagian dari rangkaian akord dalam waktu (biasanya merupakan rangkaian nada tertinggi dalam akord-akord tersebut).
[sunting] Harmoni

Harmoni secara umum dapat dikatakan sebagai kejadian dua atau lebih nada dengan tinggi berbeda dibunyikan bersamaan, walaupun harmoni juga dapat terjadi bila nada-nada tersebut dibunyikan berurutan (seperti dalam arpeggio). Harmoni yang terdiri dari tiga atau lebih nada yang dibunyikan bersamaan biasanya disebut akord.

musik ada di jiwa manusia

Musik…coba kita pikirkan apa itu musik. Dalam sejarah peradaban musik belum pernah ada yang bisa mengartikan musik secara jelas hanya dari kata-kata saja. Musik hanya akan bisa dipahami keberadaannya jika kita memasuki dunia musik itu sendiri. Ada yang melarutkan diri dalam lagu saja. Ada yang mencoba belajar lewat konsep dan alat-alat musik saja. Ada juga yang mengalami kedua-duanya, disamping menikmati juga menjadikannya proses pembelajaran.

Kita selalu mengaitkan musik dengan musisi dan penikmat. Atau ada musisi..ya ada penikmat. Sebenarnya arti kata musisi telah menjadi salah persepsi. Di era sekarang banyak individu yang menyatakan dirinya musisi hanya karena punya grup band, tau banyak lagu, bangga bisa meniru band dambaannya, bahkan ada yang beranggapan kalau ingin berjiwa musik haruslah kursus dan sekolah musik. Apakah tindakan tersebut benar? Apakah hanya dengan memiliki sebuah grup band bisa dikatakan sebagai musisi? Apakah dengan mengenal banyak lagu dan mengetahui semua jenis musik bisa menjamin seseorang berjiwa musik?

Jiwa musik sebetulnya tidak harus dicari karena seluruh individu diberikan anugerah berupa potensi berbahasa musikal. Setiap diri kita sejak lahir diberi kesempatan untuk berbahasa secara musikal. Itulah sebabnya bayi manapun bisa diajak menari, menyanyi serta mencoba mengikuti ritme atau ketukan. Coba kita pikirkan, bayi itu kan suci. Tidak perlu sekolah musik untuk membuat seorang bayi menari. Tidak perlu belajar not balok untuk merasakan kesenangan berbahasa musikal. Hanya saja dunianya yang berbeda. Dunia remaja dan dewasa adalah dunianya kita belajar bersosialisasi dengan dunia luar yang berwarna-warni. Dimana dunia ini bukan milik musik saja.

Kita akan belajar memahami keindahan dan kepuasan jiwa kita tidak hanya didapatkan dari musik saja.
Lalu apa dong arti musisi? Apakah dengan penjelasan diatas mengartikan bahwa kita semua adalah musisi? Musisi itu ditujukan bagi individu yang berjiwa musik luar biasa. Karena jiwa musiknya istimewa bahkan terlalu istimewa sehingga menciptakan karakter dalam dirinya yang tidak memungkinkan bagi dirinya untuk berkecimpung dalam bidang lain selain musik, itulah musisi.

Musisi tidak sebatas dimiliki orang kaya. Tidak harus jebolan sekolah musik. Tidak harus menjadi terkenal. Tidak harus menjadi legenda. Coba pejamkan mata…kalau tanpa harus mengheningkan cipta segala tapi ada suara-suara musik, apapun bebunyian musiknya, itulah jiwa musik. Musisi yang sebenarnya adalah individu yang ketika berjalan, tidur, mimpi, mandi, bekerja, dimanapun dia berada, apapun yang dia lakukan selalu ditemani dengan nada-nada.

Setiap detiknya adalah nada meskipun tak ada alat musik untuk memvisualisasikannya karena setiap jejaknya adalah nada. Sayangnya, zaman sekarang yang nota bene mengharuskan kita bekerja, mencari uang, berumahtangga dan tuntutan hidup lainnya membuat jiwa musik kita terpinggirkan. Kita memang telah menjadi dewasa, tetapi kesucian ketika kita bayi itu masih ada. Sama saja ketika kita semua beranjak tidur dan menanti mimpi yang indah.

Search