Perang terhadap mafia hukum, mafia pajak, dan korupsi

Satu per satu skandal mafia di tubuh penegak hukum dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak terungkap. Mulai kasus Gayus H. Tambunan yang menimbulkan efek domino di Ditjen Pajak, kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Tiap-tiap institusi menyikapi skandal sistemis tersebut dengan keseriusan yang berbeda.

Ditjen Pajak terlihat paling tegas dengan langsung menonaktifkan sejumlah pegawai dan pejabat di tempat Gayus bertugas dan membuka akses pelaporan LHKPN terhadap pegawai pajak yang sebelumnya tidak tersentuh, bahkan oleh KPK. Kepolisian pun melakukan beberapa langkah. Antara lain, menetapkan tersangka dua penyidik, menonaktifkan seorang jenderal yang diduga terkait dengan mafia kasus, dan melakukan serangkaian pemeriksaan kode etik secara internal.

Meskipun dinilai paling lambat dan tidak menunjukkan progres, kejaksaan juga menyatakan tidak cermatnya beberapa jaksa peneliti dan jaksa penuntut umum yang menangani kasus Gayus. Sayang, kejaksaan masih berkutat pada persoalan administratif. Padahal, dugaan aliran dana terhadap jaksa sudah disampaikan oleh PPATK. Sebaliknya, di institusi pengadilan, Mahkamah Agung justru menyatakan bahwa hakim-hakim tersebut bersih dan tidak melanggar aturan. Pernyataan itu berbanding terbalik dengan temuan Komisi Yudisial (KY) tentang dugaan aliran uang terhadap hakim.

Mencermati tindakan empat institusi itu, sepintas masyarakat mungkin berpikir, telah dilakukan beberapa perubahan di setiap institusi. Akan tetapi, kita sadar betul bahwa penanganan seperti itu rentan terjebak dan dilokalisasi pada kasus per kasus.

Belajar dari sejumlah skandal di institusi tersebut pada tahun-tahun sebelumnya, yang terus terulang, tidak berlebihan kita menyebut apa yang dilakukan hari ini hanyalah "buih-buih". Bukan keseriusan substantif untuk benar-benar membersihkan institusi penegak hukum dan Ditjen Pajak dari bakteri mafioso.

Perang terhadap mafia hukum, mafia pajak, dan korupsi harus dilakukan secara institusional. Ia tidak mungkin bisa dituntaskan dengan cara menari-nari dari kasus per kasus. Sebab, gegap gempita penanganan kasus Gayus, Bahasyim, bahkan kasus lain, justru rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik pencitraan, kamuflase komitmen antikorupsi, dan bukan tidak mungkin memperkuat konsolidasi mafia di tubuh setiap institusi. Sebab, kita sangat sadar, ibarat rumput liar, lahan untuk praktik mafia di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan terutama Ditjen Pajak masih sangat subur. Ditambah, petugas pembersih sering lalai dan tercemar.
saat ini adalah momentum yang paling tepat untuk membersihkan institusi -bukan perorangan semata- dengan perombakan total. Baik aspek kepemimpinannya; sistem regulasi, promosi, dan mutasi; pengawasan; sanksi; kekayaan yang tak wajar; hingga remunerasi yang layak. Kapolri dan jaksa agung, misalnya. Dua tampuk tertinggi kepolisian dan kejaksaan itu telah dinilai tidak mampu membersihkan, menjaga, dan menempatkan institusi masing-masing sebagai penegak hukum yang ideal.

Di era Jaksa Agung Hendarman Supandji, terjadi skandal suap Urip Tri Gunawan yang melibatkan sejumlah jaksa agung muda, kasus jaksa penjual narkoba, penahanan Prita Mulyasari, perkara Anggodo yang merembet hingga wakil jaksa agung, dan kali ini mafia pajak Gayus. Demikian juga kepolisian. Citra institusi yang kini mereformasi diri itu justru terpuruk saat dipimpin Kapolri saat ini. Salah satu indikasinya, mulai diragukannya independensi Polri dalam penyelenggaran Pemilihan Umum 2009 dan pemilihan presiden. Selain itu, ada kasus salah tangkap, persoalan cicak lawan buaya, perkara Anggodo yang tidak mampu ditangani, hingga dugaan keterlibatan sejumlah jenderal polisi dalam kasus Gayus. Sulit dibayangkan perang terhadap mafia hukum bisa berjalan efektif jika kondisi status quo tersebut masih dipertahankan.

Masuk akal jika kita berpikir tidak ada pilihan lain, selain membersihkan institusi itu. Sebab, jika kepolisian kotor, kejaksaan dan pengadilan tercemar, dan Ditjen Pajak tetap tak mampu membasmi mafia di tubuhnya, semua itu bakal merugikan dan mengancam masyarakat secara langsung. Tidak akan ada pengayom masyarakat bila polisi mengabdi kepada kepentingan mafia. Hukum bakal tumpul apabila kejaksaan dan pengadilan tercemar. Lalu, uang negara akan terus bocor di Ditjen Pajak dengan ketimpangan penghasilan yang luar biasa antara pegawai pajak dan masyarakat.

Karena itu, tidak berlebihan jika kita me-warning sejak awal bahwa kita berada di titik "darurat mafia". Sendi-sendi penting institusi pelayanan masyarakat dan penghasilan negara kini dibajak kekuatan mafioso. Sementara itu, komitmen politik pimpinan negara tidak beranjak dari sekadar permainan kasus per kasus. Hal tersebut akan mempersulit Indonesia, tidak hanya untuk pemberantasan korupsi, tetapi juga berimplikasi terhadap penegakan HAM, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas hidup rakyat, bahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin.
pemberantasan mafia hukum sudah saatnya memikirkan hal yang lebih fundamental, bukan hanya respons sporadis oleh Satgas Mafia Hukum; pencopotan satu atau dua jaksa dan polisi; bahkan penetapan Gayus, Bahasyim, dan Syahril Djohan sebagai tersangka; melainkan jauh lebih besar daripada itu.

e-commerce ataw perdagangan elektronik

Perdagangan elektronik atau e-dagang (bahasa Inggris: Electronic commerce, juga e-commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-dagang dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.

Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-dagang ini sebagai aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan transaksi komersial, seperti: transfer dana secara elektronik, SCM (supply chain management), e-pemasaran (e-marketing), atau pemasaran online (online marketing), pemrosesan transaksi online (online transaction processing), pertukaran data elektronik (electronic data interchange /EDI), dll.

E-dagang atau e-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, e-dagang juga memerlukan teknologi basisdata atau pangkalan data (databases), e-surat atau surat elektronik (e-mail), dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran untuk e-dagang ini.

E-dagang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman-web (website). Menurut Riset Forrester, perdagangan elektronik menghasilkan penjualan seharga AS$12,2 milyar pada 2003. Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006 yang lalu, pendapatan ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan mencapai seperempat trilyun dolar US pada tahun 2011.
Sejarah perkembangan

Istilah "perdagangan elektronik" telah berubah sejalan dengan waktu. Awalnya, perdagangan elektronik berarti pemanfaatan transaksi komersial, seperti penggunaan EDI untuk mengirim dokumen komersial seperti pesanan pembelian atau invoice secara elektronik.

Kemudian dia berkembang menjadi suatu aktivitas yang mempunya istilah yang lebih tepat "perdagangan web" — pembelian barang dan jasa melalui World Wide Web melalui server aman (HTTPS), protokol server khusus yang menggunakan enkripsi untuk merahasiakan data penting pelanggan.

Pada awalnya ketika web mulai terkenal di masyarakat pada 1994, banyak jurnalis memperkirakan bahwa e-commerce akan menjadi sebuah sektor ekonomi baru. Namun, baru sekitar empat tahun kemudian protokol aman seperti HTTPS memasuki tahap matang dan banyak digunakan. Antara 1998 dan 2000 banyak bisnis di AS dan Eropa mengembangkan situs web perdagangan ini.
Faktor kunci sukses dalam e-commerce

Dalam banyak kasus, sebuah perusahaan e-commerce bisa bertahan tidak hanya mengandalkan kekuatan produk saja, tapi dengan adanya tim manajemen yang handal, pengiriman yang tepat waktu, pelayanan yang bagus, struktur organisasi bisnis yang baik, jaringan infrastruktur dan keamanan, desain situs web yang bagus, beberapa faktor yang termasuk:

1. Menyediakan harga kompetitif
2. Menyediakan jasa pembelian yang tanggap, cepat, dan ramah.
3. Menyediakan informasi barang dan jasa yang lengkap dan jelas.
4. Menyediakan banyak bonus seperti kupon, penawaran istimewa, dan diskon.
5. Memberikan perhatian khusus seperti usulan pembelian.
6. Menyediakan rasa komunitas untuk berdiskusi, masukan dari pelanggan, dan lain-lain.
7. Mempermudah kegiatan perdagangan

Masalah e-commerce

1. Penipuan dengan cara pencurian identitas dan membohongi pelanggan.
2. Hukum yang kurang berkembang dalam bidang e-commerce ini.

Aplikasi bisnis

Beberapa aplikasi umum yang berhubungan dengan e-commerce adalah:

* E-mail dan Messaging
* Content Management Systems
* Dokumen, spreadsheet, database
* Akunting dan sistem keuangan
* Informasi pengiriman dan pemesanan
* Pelaporan informasi dari klien dan enterprise
* Sistem pembayaran domestik dan internasional
* Newsgroup
* On-line Shopping
* Conferencing
* Online Banking

Perilaku konsumtif masyarakat Indonesia

alasan lain yang mendorong masyarakat Indonesia menjadi sangat konsumtif daripada seharusnya, jauh lebih konsumtif dari hanya sekedar memenuhi kebutuhan.
Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang relatif rendah adalah salah satu faktornya, Salah satu implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan adalah sedikitnya konsumen yang suka membaca. Itulah sebabnya, iklan di televisi adalah pemilihan media yang masih sangat tepat untuk menjangkau pasar Indonesia. Rasanya sungguh sulit untuk menjadi produk nasional tanpa mengandalkan iklan televisi. Padahal, beberapa negara seperti Singapura, justru iklan di media cetak adalah yang terbesar. Kegemaran masyarakat Indonesia menonton TV (baca : sinetron dan infotaiment) dimanfaatkan dengan baik oleh para produsen.
ditambah lagipengaruh para publik figur (baca : Selebriti) yang sangat besar. Gaya hidup mereka menjadi bagian yang dipertimbangkan masyarakat dalam pembelian suatu produk. Mudah dipahami apabila kemudian banyak perusahaan telekomunikasi, perbankan, makanan dan minuman yang kemudian menjadikan artis sebagai bintang iklan mereka. Masyarakat Indonesia juga dikenal dengan masyarakat yang memiliki kebiasaan yang kuat untuk hidup berkomunitas, gotong royong dan menjadi satu grup-grup. Adanya perkumpulan dalam bentuk dharma wanita, arisan, karang taruna adalah wujud perilaku nyata dari kehidupan berkomunitas masyarakat Indonesia. Adanya keinginan untuk merasa 'diakui' oleh komunitas ini adalah hal yang kemudian memicu masyarakat untuk menjadi konsumtif. Keinginan untuk mendapatkan "pengakuan" inilah yang kemudian direfleksikan dengan berperilaku konsumtif dengan cara membeli barang2 mahal, hi-tech dan keluaran terbaru yang ada dipasaran tidak peduli bahwa sebenarnya barang tersebut sebetulnya kurang/tidak dibutuhkan.

Menggugah Perspektif Masyarakat Terhadap Paradigma Baru Sistem Pendidikan (Nasional)


Dunia pendidikan (nasional) dirasakan selalu tertinggal dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi maupun dunia bisnis yang seharusnya seiring sejalan dalam perkembangannya mengikuti tuntutan dan zamannya, apakah karena dunia pendidikan lebih banyak dan harus berorientasi kepada human investment katimbang memikirkan profit and lost yang bernaung dalam suatu wadah/lembaga dengan embel-embel nirlaba ? Mungkin ini suatu fenomena yang sering terjadi dalam dunia pendidikan (nasional) manakala kita ingin maju dan dihadapkan pada tantangan globalisasi disemua sektor.

Dan sebagai konsekuensinya yang muncul ketika kita ingin mewujudkan harapan cita-cita mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan dapat terwujud adalah bagaimana agar masyarakat mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap perkembangan dunia pendidikan ini mengingat dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan tidak cukup hanya dengan memiliki spirit semata yang lebih konkrit lagi adalah terbentuknya suatu keinginan atau political will dan komitmen yang kuat dari segenap lapisan masyarakat.

Paradigma Baru Sitem Pendidikan

Dalam upaya menjawab kebutuhan dan tantangan dunia global saat ini, paling tidak ada dua aspek dalam sistem pendidikan yang dapat kita jadikan bahan kajian dan kita gali untuk dilakukan perubahan menjadi paradigma baru yang berlaku.

Aspek pertama adalah dalam hal metode pembelajaran, sejak dahulu metode pembelajaran kita selalu berorientasi dan bersumber hanya kepada guru dan berlangsung satu arah (one way), kita sepakat bahwa metode ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan tanpa mengenyampingkan bahwa GURU itu tetap harus menjadi insan yang patut di Gugu dan di tiRu. Sudah saatnya kini orientasi berubah tidak hanya kepada satu sumber saja (Guru), tetapi harus dilakukan berorientai kepada siswa dan secara multi arah, dengan terjadinya proses interaksi ini diharapkan akan menstimulir para siwa untuk lebih menumbuhkan tingkat kepercayaan dirinya, proaktif, mau saling bertukar informasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berfikir kritis, membangun kerja sama, memahami dan menghormati akan adanya perbedaan pendapat dan masih banyak harapan positif lainnya yang lahir dari adanya perubahan tersebut serta pada akhirnya siswa akan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya dalam memandang dan memahami konteks dalam kehidupan kesehariannya.

Aspek kedua adalah menyangkut manajemen lembaga pendidikan itu sendiri, seperti kita alami selama ini dimana pada waktu sebelumnya sekolah hanya bergerak dan beroperasi sendiri-sendiri secara mandiri, maka dalam konteks pembelajaran masa kini dan kedepan setiap sekolah harus mempunyai dan membangun networking antar lembaga pendidikan yang dapat saling bertukar informasi, pengetahuan dan sumber daya, artinya sekolah lain sebagai institusi tidak lagi dipandang sebagai rival atau kompetitor semata tetapi lebih sebagai mitra (counterpart).

Memang jika kita pikirkan kembali kedua aspek paradigma baru ini dalam implementasinya tidak akan semudah seperti membalik telapak tangan, akan banyak ekses maupun aspek lainnya yang harus dipikirkan seperti misalnya berakibat akan adanya perubahan dan peran sebuah lembaga pendidikan yang selama ini kita pahami. Namun melalui konteks perubahan ini kelak akan jelas terlihat bagaimana sektor pendidikan akan dapat bersinergi dan seiring sejalan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, pengetahuan dan bisnis sekalipun, karena ouput dari suatu pendidikan menjadi lebih berkualitas.

Implementasi Paradigma Baru Sisdiknas

Output yang bagaimana yang dapat kita harapkan dari suatu proses perubahan pendidikan dalam menuju kearah peningkatan kualitas adalah tergantung dari bagaimana kita mengimplemantisakan, dengan tetap berkomitmen dan berpegang pada aspek perubahan paradigma baru sistem pendidikan dan stressing nya difokuskan terhadap hal-hal berikut ini : (R.Eko Inrajit, 2006, Halaman 379)

1.Sistem Pendidikan harus diimplementasikan dengan berpegang pada prinsip “muatan lokal, orientasi global”
2.Konten dan kurikulum yang dibuat harus berbasis pada penciptaan kompetensi siswa (kognitif, afektif dan psikomotorik)
3.Proses belajar mengajar harus berorientasi pada pemecahan masalah riil dalam kehidupan, tidak sekedar mengawang-awang (problem base learning)
4.Fasilitas sarana dan prasarana harus berbasis teknologi informasi agar dapat tercipta jejaring pendidikan antar sekolah dan lembaga lainnya
5.Sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidkan harus mempunyai kemampuan multi dimensi yang dapat merangsang multi intelejensia peserta didik
6.Manajemen pendidikan harus berbasis sekolah ? Sistem informasi terpadu untuk menunjang proses administrasi dan strategis
7.Otoritas pemerintah daerah diharapkan lebih berperan dalam menunjang infrastruktur dan suprastruktur pendidikan ? Sesuai strategi otonomi daerah yang diterapkan secara nasional.
Dalam upaya menciptakan keunggulan kompetitif ini, masyarakat perlu berpartisipasi secara aktif untuk dapat menumbuhkan dan menciptakan inovasi yang berharga bagi perkembangan dunia pendidikan, karena tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan nasional hanya akan menghasilkan output yang tidak mandiri, kurang percaya diri dan selalu akan tergantung pada pihak lain.Dalam perspektif masyarakat terhadap pendidikan harus mampu menjembatani dan mengatasi kesenjangan

Politik Tetap Berpengaruh Besar pada Ekonomi Asia 2010



Tidak diragukan lagi, Asia merupakan mesin penggerak perekonomian global selama krisis. Meskipun demikian, krisis finansial masih menyisakan bahaya, seperti risiko kekacauan sosial karena tingginya tingkat pengangguran dan meningkatnya ketidaksetaraan sosial ketika perekonomian membaik.

Ketakutan akan meluasnya kerusuhan tahun lalu memang tidak terbukti. Sebagian besar perekonomian di Asia saat ini tumbuh cukup mengagumkan. Tetapi, pengangguran masih terlihat tinggi. Pada tahun 2010 ini risiko politik yang terkait dengan perekonomian masih ada.

Risiko yang mungkin akan mengganggu stabilitas ekonomi tahun ini antara lain adalah aset yang terlalu menggelembung (bubble), tekanan deflasi, bahaya kekacauan sosial dan politik, tingginya pengangguran, serta lemahnya pertumbuhan.

China

China merupakan negara yang berpotensi berisiko tinggi dalam hal kemungkinan terjadi kerusuhan sosial pada 2010. Untungnya, kekacauan sosial di China dianggap tak akan menyebabkan penurunan di pasar saham. Pertanyaan selanjutnya, apakah kekerasan itu akan cukup kuat memengaruhi keadaan politik atau mengganggu perekonomian secara signifikan.

Jika terjadi kekacauan di China, itu tidak hanya akan menyebabkan instabilitas di China saja, tapi juga akan menyebabkan penjualan besar-besaran aset-aset China yang akan memengaruhi pasar global.

Akan tetapi, tampaknya para analis memandang risiko terjadinya kerusuhan politis ini sangat rendah di China dalam tahun-tahun ke depan. Akademi Ilmu Sosial China bulan lalu menyatakan bahwa China telah mengalami konflik sosial yang tidak terduga pada tahun 2009.

Kekacauan etnis di Xinjiang dan Tibet tidak sampai mengganggu kesatuan nasional dan menakutkan investor.

Thailand dan Korea Utara

Di tempat lain di Asia, dikhawatirkan kerusuhan yang terjadi akan lebih merusak lagi. Khususnya di Thailand. Hal itu tercermin dari konflik-konflik politik setempat yang terbentang lebar antara elite urban dan kaum miskin pedesaan. Pertentangan itu bahkan terjadi sebelum ada krisis finansial global yang memperburuk perekonomian Thailand.

Kombinasi dari pemerintahan yang lemah dan sering menghadapi kekerasan dari jalanan serta masalah dari mantan perdana menteri merupakan faktor ketidakpastian utama di Thailand. Diperkirakan, jika kesehatan raja memburuk lagi, maka akan meningkatkan tensi politik dan memengaruhi peringkat. Tingkat kepercayaan akan berkurang lagi, investasi asing langsung jelas akan menurun sehingga akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Korea Utara mengandung masalah lain. Sedikit sekali informasi ekonomi yang didapatkan dari negara itu. Tetapi, terlihat bahwa perekonomian mereka semakin memburuk. Walaupun Pyongyang menyatakan mereka akan kembali ke meja perundingan mengenai perlucutan nuklir, masih ada pertanda pembicaraan belum dapat berlangsung mulus.

Pemotongan mata uang akhir tahun lalu juga menambah kesulitan bagi rakyat Korea Utara. Kemungkinan kekacauan yang terjadi di Korea Utara juga merupakan potensi politik yang membahayakan tetangganya. Tidak hanya karena Korea Utara yang tidak stabil dapat menyerang tetangganya, tetapi juga karena kekacauan politik yang dapat menuju pada penyatuan semenanjung Korea membawa ongkos ekonomi yang besar.

Risiko politik Korea Utara memang sulit dikuantifikasi, tetapi tampaknya faktor-faktor itu sudah diperhitungkan sehingga pasar Korea Selatan dapat melemah jika rezim Pyongyang tidak berdaya. (eris bara dt,SH)

Persaingan

Sebagai prinsip dari perkembangan dan informasi persaingan melintasi seluruh alam: mulai dari perjuangan kupu-kupu untuk mendapatkan cahaya matahari terbaik hingga penghargaan pulitzer, persaingan dalam olimpiade, penemuan sumber energi regeneratif atau persaingan dalam sistem-sistem pendidikan, tatanan ekonomi dan konstitusi negara.

Kekhawatiran terhadap persaingan

Persaingan bukanlah suatu permainan mencari untung di mana kemudian keuntungan seseorang selalu berarti kerugian bagi orang yang lain ( Montaigne, essay XXI ). Tapi, berdasarkan pengalaman persaingan membawa “keuntungan bersih” bagi semua orang. Hidup adalah perubahan yang terus-menerus, dan setiap perubahan melahirkan persaingan untuk mencari solusi-solusi baru, baik dengan si pemenang ataupun si pecundang. Perubahan dan persaingan seringkali menuntut manusia untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru di mana pada saat yang sama selalu muncul kekhawatiran akan menjadi yang kalah atau pecundang dalam penyesuaian diri tersebut. Kalau diperhatikan dengan lebih teliti, meluasnya kekhawatiran terhadap persaingan pada saat perubahan cepat terjadi pada dasarnya adalah ketakutan terhadap perubahan. Namun, khususnya bagi mereka yang melihat lingkungan sosial mereka terancam hal tersebut tidaklah menjadi soal. Fakta inilah kemudian oleh para penentang globalisasi yang anti ekonomi pasar dimanfaatkan sebagai titik tolak kritik mereka. Mereka berpendapat persaingan adalah faktor penyebab timbulnya masalah dan ketakutan seseorang. Karenanya persaingan harus dibatasi, meskipun persaingan itu membantu semua orang memecahkan masalah yang timbul di saat proses penyesuaian diri terhadap perubahan yang terus-menerus tersebut dilakukan.

Kemajuan teknis-organisatoris yang dipicu oleh teknologi informasi dan komunikasi baru telah merubah secara drastis dunia kerja bagi sebagian besar manusia. Manusia dituntut untuk selalu belajar hal-hal yang baru di saat pendidikan dan peluang di ® pasar kerja semakin terkait erat. Lapangan kerja baru umumnya terdapat pada sektor jasa. Sementara sektor ekonomi lain peluangnya berkurang karena semakin ketat pasar kerja semakin banyak pula lapangan kerja yang hilang, meski peluang baru tetap ada (tentang topik perubahan struktur dan persaingan global lihat “Laporan sektor jasa 2000” pada www.preussag.de dan Institut Ekonomi Jerman, iwd Nr. 50/2000).

Hampir semua orang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk belajar, ® pendidikan dan pekerjaan. Jadi, adanya ketakutan akan persaingan di saat tuntutan kualifikasi dalam pendidikan dan profesi mengalami perubahan drastis, bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Sementara pembatasan persaingan tidak akan memberikan keamanan yang diinginkan. Orang-orang yang ditekan oleh persaingan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi justru dapat dibantu dalam ® ekonomi pasar. Ini merupakan lahan bagi ® kebebasan dan ® tanggungjawab, bagi ® solidaritas dengan asas mutlak ® subsidiaritas.

Siapa yang tidak menerima persaingan sebagai bagian dari solusi bagi masalah-masalah globalisasi, tapi sebaliknya mengkambinghitamkannya sebagai pemicu masalah maka ia juga tidak memahami suatu hal penting. Yakni bahwa sejalan dengan perubahan drastis dunia kerja melalui teknologi informasi dan komunikasi baru itu masalah-masalah penyesuaian diri menjadi akibat dari perubahan global yang dipicu dengan diintegrasikannya negara-negara berkembang yang sukses dan sejak tahun 90-an negara-negara sosialis ke dalam pembagian kerja ekonomi dunia. Karena itu, melihat perubahan struktur di Jerman Timur dan negara-negara tetangga yang terkena arus reformasi, apa yang dinyatakan kelompok Kronberger sangat sesuai dengan keadaan Jerman:” Persetujuan terhadap asas persaingan sebagai bentuk dari pemersepsian peluang dalam kehidupan sedang mengalami percobaan berat.”

Masalah penyesuaian diri dan kekhawatiran manusia harus ditanggapi dengan serius. Di samping membuat kebijakan yang konsekuen untuk memperbanyak lapangan kerja dan reformasi sistem sosial, bentuk lain dari upaya serius itu adalah menjelaskan tentang fungsi sosial dari persaingan itu sendiri. Karena bersamaan dengan cepatnya perubahan kebutuhan akan keamanan pun meningkat, termasuk kecenderungan untuk melindungi harta benda apapun risikonya. Dengan kata lain, perlindungan terhadap persaingan itu menuntut keamanan yang lebih.

Persaingan sebagai proses penemuan

F.A. von Hayek telah menyimpulkan fungsi sosial persaingan dalam gambaran plastis “persaingan sebagai proses penemuan”: masa depan tidak jelas dan sumber tidak cukup. Persaingan memicu orang untuk berhemat dengan sumber-sumber yang tidak memadai tersebut. Persaingan memungkinkan manusia membuat berbagai percobaan dan kesalahan, membuat orang menemukan sesuatu yang sama sekali baru. Contoh yang paling nyata adalah apa yang dapat dilihat di Berlin, tepatnya Lapangan Potsdam. Orang bisa membayangkan bagaimana 100 tahun yang lalu barang-barang baru, jalan-jalan transportasi dan informasi ditemukan oleh warga dalam persaingan kreatifitas dan kerajinan. Tidak ada perancang pusat yang kiranya akan dapat memikirkan ke arah sana atau bahkan untuk mengkoordinasikannya pun ia tak akan bisa.

Persaingan sebagai “penghancuran yang kreatif”

Penemuan atau penciptaan barang-barang baru, proses produksi, keuntungan tempat dan sistem informasi juga berarti penyesuaian. Mula-mula barang-barang dan teknik produksi yang mampu bersaing itu harus mengalami penyesuaian dan kemudian otomatis faktor lapangan kerja dan tempat produksinya, seperti yang terjadi pada penenun Schlesia Hauptmann yang alat tenunnya diganti dengan alat tenun mekanis. Schumpeter menamakan sisi persaingan ini “penghancuran yang kreatif”. Artinya, semakin inovatif seseorang sebagai pionir dalam menemukan hal baru, semakin cerdik ia sebagai peniru memperluas pasar sehingga barang-barang baru itu menawarkan lebih banyak kesejahteraan kepada semua orang, maka semakin besar pula peluang sosial yang berarti juga semakin banyaknya masalah sosial.

Aturan persaingan dan kebebasan

Aturan tentang persaingan dengan banyak penawar pada pasar terbuka harus dibuat sedemikian rupa agar daya cipta orang-orang yang bebas dimotivasi untuk berani menerima persaingan yang tidak nyaman sekalipun, sementara hasil yang akan diperoleh belum jelas. Prestasi warga harus selalu diutamakan, apakah itu dengan cara memberikan peluang untuk ambil bagian pada keuntungan-keuntungan dari hasil kerja setiap orang sebagai akibat dari banyaknya pesaing baru dalam pasar terbuka yang memicu penurunan harga dan peningkatan mutu , ataupun melalui redistribusi oleh pemerintah dengan cara penaturan pembayaran pajak hasil keuntungan.

Karena itu pemerintah harus menjamin hal-hal berikut:

¨ akses bebas ke dalam pasar-pasar terbuka

¨ persaingan untuk mengawasi kekuasaan

¨ stabilitas nilai uang untuk keamanan perencanaan

¨ perlindungan terhadap hak-hak milik pribadi

¨ tanggungjawab (“kebebasan dan tanggungjawab”)

¨ kesinambungan kebijakan ekonomi

Hal-hal di atas merupakan “prinsip pembentuk” ekonomi pasar sebagai “aturan persaingan”, sebagai prinsip dasar kebebasan. Semakin baik asas-asas dasar ini direalisasikan, terutama oleh pasar kerja yang fleksibel dewasa ini, maka semakin efektif pula upaya sosial melalui bantuan subjek terarah membuat setiap individu menanggung beban penyesuaian diri terhadap perubahan struktur. Agar persaingan dapat berjalan dengan harga pasar, maka bidang transfer sosial harus dipisahkan dari jangkauan pasar. Untuk bantuan yang bersifat terarah dan bantuan sosial yang dapat dipercaya kebijakan sosial yang baik membutuhkan papan-papan harga dan persaingan

Perubahan sosial budaya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

1. tekanan kerja dalam masyarakat
2. keefektifan komunikasi
3. perubahan lingkungan alam

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

. Penetrasi kebudayaan

Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

Penetrasi damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.

Penetrasi kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat[rujukan?].

. Cara pandang terhadap kebudayaan

1. Kebudayaan sebagai peradaban

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

2. Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

3. Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi

Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.

. Kebudayaan di antara masyarakat

Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

* Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.

* Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

* Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.

* Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

. Kebudayaan menurut wilayah

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kebudayaan menurut wilayah

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.

Afrika

Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan Arab dan Islam.

Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat.

Amerika

Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.

Asia

Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam. Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mempengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.

Australia

Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia, Aborigin.

Eropa

Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat". Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.

Timur Tengah dan Afrika Utara

Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di daerah ini.

. Referensi

1. Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought, p. 488.
2. Dari bahasa Arab, artinya: "agama langit"; karena dianggap diturunkan dari langit berupa wahyu.
3. Karena dianggap muncul dari suatu tradisi bersama Semit kuno dan ditelusuri oleh para pemeluknya kepada tokoh Abraham/Ibrahim, yang juga disebutkan dalam kitab-kitab suci ketiga agama tersebut.
4. Templat:Cite study, based on American Jewish Year Book. 106. American Jewish Committee. 2006. http://www.ajcarchives.org/main.php?GroupingId=10142.
5. Adherents.com - Number of Christians in the world
6. Miller, Tracy, ed. (2009), Mapping the Global Muslim Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, Pew Research Center, http://pewforum.org/newassets/images/reports/Muslimpopulation/Muslimpopulation.pdf, hlm.4"
7. Boritt, Gabor S. Lincoln and the Economics of the American Dream, p. 1.
8. Ronald Reagan. "Final Radio Address to the Nation".
9. O'Neil, D. 2006. "Processes of Change".

musik Teori


Teori musik merupakan cabang ilmu yang menjelaskan unsur-unsur musik. Cabang ilmu ini mencakup pengembangan dan penerapan metode untuk menganalisis maupun menggubah musik, dan keterkaitan antara notasi musik dan pembawaan musik.

Hal-hal yang dipelajari dalam teori musik mencakup misalnya suara, nada, notasi, ritme, melodi, Kontrapun Musik, harmoni, Bentuk Musik, Teori Mencipta Lagu, dlsb.

* 1 Suara
* 2 Nada
* 3 Ritme
* 4 Notasi
* 5 Melodi
* 6 Harmoni
* 7 Referensi

[sunting] Suara

Teori musik menjelaskan bagaimana suara dinotasikan atau dituliskan dan bagaimana suara tersebut ditangkap dalam benak pendengarnya. Dalam musik, gelombang suara biasanya dibahas tidak dalam panjang gelombangnya maupun periodenya, melainkan dalam frekuensinya. Aspek-aspek dasar suara dalam musik biasanya dijelaskan dalam tala (Inggris: pitch, yaitu tinggi nada), durasi (berapa lama suara ada), intensitas, dan timbre (warna bunyi).
[sunting] Nada

Suara dapat dibagi-bagi ke dalam nada yang memiliki tinggi nada atau tala tertentu menurut frekuensinya ataupun menurut jarak relatif tinggi nada tersebut terhadap tinggi nada patokan. Perbedaan tala antara dua nada disebut sebagai interval. Nada dapat diatur dalam tangga nada yang berbeda-beda. Tangga nada yang paling lazim adalah tangga nada mayor, tangga nada minor, dan tangga nada pentatonik. Nada dasar suatu karya musik menentukan frekuensi tiap nada dalam karya tersebut.
[sunting] Ritme

Ritme adalah pengaturan bunyi dalam waktu. Birama merupakan pembagian kelompok ketukan dalam waktu. Tanda birama menunjukkan jumlah ketukan dalam birama dan not mana yang dihitung dan dianggap sebagai satu ketukan. Nada-nada tertentu dapat diaksentuasi dengan pemberian tekanan (dan pembedaan durasi).
[sunting] Notasi

Notasi musik merupakan penggambaran tertulis atas musik. Dalam notasi balok, tinggi nada digambarkan secara vertikal sedangkan waktu (ritme) digambarkan secara horisontal. Kedua unsur tersebut membentuk paranada, di samping petunjuk-petunjuk nada dasar, tempo, dinamika, dan sebagainya.
[sunting] Melodi

Melodi adalah serangkaian nada dalam waktu. Rangkaian tersebut dapat dibunyikan sendirian, yaitu tanpa iringan, atau dapat merupakan bagian dari rangkaian akord dalam waktu (biasanya merupakan rangkaian nada tertinggi dalam akord-akord tersebut).
[sunting] Harmoni

Harmoni secara umum dapat dikatakan sebagai kejadian dua atau lebih nada dengan tinggi berbeda dibunyikan bersamaan, walaupun harmoni juga dapat terjadi bila nada-nada tersebut dibunyikan berurutan (seperti dalam arpeggio). Harmoni yang terdiri dari tiga atau lebih nada yang dibunyikan bersamaan biasanya disebut akord.

musik ada di jiwa manusia

Musik…coba kita pikirkan apa itu musik. Dalam sejarah peradaban musik belum pernah ada yang bisa mengartikan musik secara jelas hanya dari kata-kata saja. Musik hanya akan bisa dipahami keberadaannya jika kita memasuki dunia musik itu sendiri. Ada yang melarutkan diri dalam lagu saja. Ada yang mencoba belajar lewat konsep dan alat-alat musik saja. Ada juga yang mengalami kedua-duanya, disamping menikmati juga menjadikannya proses pembelajaran.

Kita selalu mengaitkan musik dengan musisi dan penikmat. Atau ada musisi..ya ada penikmat. Sebenarnya arti kata musisi telah menjadi salah persepsi. Di era sekarang banyak individu yang menyatakan dirinya musisi hanya karena punya grup band, tau banyak lagu, bangga bisa meniru band dambaannya, bahkan ada yang beranggapan kalau ingin berjiwa musik haruslah kursus dan sekolah musik. Apakah tindakan tersebut benar? Apakah hanya dengan memiliki sebuah grup band bisa dikatakan sebagai musisi? Apakah dengan mengenal banyak lagu dan mengetahui semua jenis musik bisa menjamin seseorang berjiwa musik?

Jiwa musik sebetulnya tidak harus dicari karena seluruh individu diberikan anugerah berupa potensi berbahasa musikal. Setiap diri kita sejak lahir diberi kesempatan untuk berbahasa secara musikal. Itulah sebabnya bayi manapun bisa diajak menari, menyanyi serta mencoba mengikuti ritme atau ketukan. Coba kita pikirkan, bayi itu kan suci. Tidak perlu sekolah musik untuk membuat seorang bayi menari. Tidak perlu belajar not balok untuk merasakan kesenangan berbahasa musikal. Hanya saja dunianya yang berbeda. Dunia remaja dan dewasa adalah dunianya kita belajar bersosialisasi dengan dunia luar yang berwarna-warni. Dimana dunia ini bukan milik musik saja.

Kita akan belajar memahami keindahan dan kepuasan jiwa kita tidak hanya didapatkan dari musik saja.
Lalu apa dong arti musisi? Apakah dengan penjelasan diatas mengartikan bahwa kita semua adalah musisi? Musisi itu ditujukan bagi individu yang berjiwa musik luar biasa. Karena jiwa musiknya istimewa bahkan terlalu istimewa sehingga menciptakan karakter dalam dirinya yang tidak memungkinkan bagi dirinya untuk berkecimpung dalam bidang lain selain musik, itulah musisi.

Musisi tidak sebatas dimiliki orang kaya. Tidak harus jebolan sekolah musik. Tidak harus menjadi terkenal. Tidak harus menjadi legenda. Coba pejamkan mata…kalau tanpa harus mengheningkan cipta segala tapi ada suara-suara musik, apapun bebunyian musiknya, itulah jiwa musik. Musisi yang sebenarnya adalah individu yang ketika berjalan, tidur, mimpi, mandi, bekerja, dimanapun dia berada, apapun yang dia lakukan selalu ditemani dengan nada-nada.

Setiap detiknya adalah nada meskipun tak ada alat musik untuk memvisualisasikannya karena setiap jejaknya adalah nada. Sayangnya, zaman sekarang yang nota bene mengharuskan kita bekerja, mencari uang, berumahtangga dan tuntutan hidup lainnya membuat jiwa musik kita terpinggirkan. Kita memang telah menjadi dewasa, tetapi kesucian ketika kita bayi itu masih ada. Sama saja ketika kita semua beranjak tidur dan menanti mimpi yang indah.

Industri Musik Korelasi dari life Style

Musik sebagai salah satu produk budaya telah mengalami peralihan dari penyajiannya. Dulu orang menciptakan dan menikmati musik sebagaimana adanya berdasarkan keinginan dan hasrat mereka. Dan ini pun bersifat eksklusif karena tidak dapat dinikmati kapan pun dan dimana pun. Namun sekarang musik telah berubah menjadi barang dagangan di mana polesan-polesan berbagai macam kepentingan telah ikut campur tangan ke sini—sebuah produk budaya yang pada awalnya diritualkan karena ketinggiannya dari sisi ide dan penciptaannya yang bersifat eksklusif. Fenomena inilah yang dikatakan oleh Adorno sebagai industri budaya di mana segala sesuatu yang berasal dari produk dan simbol budaya harus distandardisasikan, dihomogenisasikan, dikomersialisasikan, dikomodifikasikan karena semua hal harus menjadi “komoditi” sehingga Adorno pun memandang musik telah menjadi “commodity listening” (Ibrahim, 2007: 88).

Bidikan industri musik yang sangat telak adalah anak muda. Dengan segala kekompleksan yang ada pada diri anak muda, kapitalisme masuk menyusup melalui musik sebagai mediator dan penggerak berjalannya industri budaya dengan memunculkan identitas pada musik itu sendiri.

Musik Populer sebagai Identitas dan Refleksi Diri dan Halusinasi Kaum Muda

Pengkonsumsian musik tidak lepas dari sebuah ide tentang “pleasure” dan “leisure”. Ideologi “pleasure” hanya akan ampuh kalau “leisure time” masyarakat berhasil ditaklukan (Ibrahim, 2007: 89). Anak muda adalah mangsa yang sangat menggiurkan untuk merealisasikan ideologi ini. Pada masyarakat kapitalis menurut Parsons, anak muda atau remaja merupakan suatu kategori sosial yang muncul seiring perubahan peran keluarga yang disebabkan oleh perkembangan kapitalisme (Barker, 2005: 424). Anak muda telah mengedapankan masa muda sebagai lahan untuk mengedepankan sensasi keberbedaan mereka yang kemudian direpresentasikan sebagai konsumen fesyen, gaya dan berbagai aktivitas waktu senggang yang suka bermain-main (Barker, 2005: 426).

Pembentukan budaya bermain-main dan waktu senggang ini dikonstruksi sedemikan rupa dan dijadikan sebagai sesuatu yang signifikan serta harus diisi dan dinikmati dengan cara-cara yang mengasyikkan dan tentunya dengan konsumsi. Hanya dengan konsumsilah waktu senggang itu dapat dibunuh dan menjadi berharga. Ini pula yang berlaku pada industri-industri lainnya seperti film, periklanan, majalah, televisi dll. Dan konsep ini sudah menjadi terstruktur dan tersistem secara konsisten dalam seluruh ranah industri kapitalisme.

Menurut Idy Subandy Ibrahim apabila waktu luang anak muda berhasil dikolonisasi atau dihegemoni lewat ideologi kebudayaan pop yang dikemas dengan cantik dan menawan seperti lewat musik, maka tidak hanya keuntungan kapital yang bisa diraih, tetapi juga selera, mimpi, dan imajinasi mereka pun bisa didikte dan bahkan secara politik mereka bisa diapatiskan. Karena signifikansi ideologi kebudayaan massa itu justru ditentukan di dalam proses komsumsi itu sendiri (Ibrahim, 2007: 89).

Jika kita melihat program musik televisi MTV maka hal ini tergambar sebagai sebuah bentuk konstruksi ideologi yang dibuat terhadap anak muda. Sebuah ide global bahwa musik adalah bagian dari hidup anak muda dan menjadi identitas mereka dengan pelabelan istilah “anak nongkrong MTV”. Dengan standar hiburan global, MTV mampu menyihir khalayak anak muda Indonesia dengan cara menyesuaikan konsep-konsep global tersebut dengan budaya lokal. Adanya pemodifikasian seperti ini secara tidak langsung telah menciptakan sebuah identitas baru di kalangan anak muda yaitu sebuah gaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai budaya hasil persilangan (hybrid) yang dikomoditaskan. Penyajian nilai-nilai budaya hybrid yang menjadi ciri dan “keharusan” bagi anak muda ini, yang jika tidak dilakukan akan mendapat sanksi moral yaitu “enggak gaul”, membuat anak-anak muda secara tidak sadar telah terporosok untuk dapat bagaimana bisa diterima secara utuh sebagai anak muda yang diinginkan oleh MTV dan khalayak yang memiliki pandangan yang sama dengan mereka. Maka di sinilah konsumerisme itu berjalan dengan mulus karena adanya sebuah kebutuhan bagi anak-anak muda untuk menjadi bergaya dan gaul dalam hal fesyen dan selera musik.

Mencermati perkembangan munculnya band-band baru di tanah air maka ini adalah pertanda bagaimana budaya pop itu telah bekerja. Musik-musik yang dilahirkan oleh anak-anak muda sekarang tak lebih dari sekedar cerminan realitas kehidupan mereka seperti percintaan, harapan atau mimpi-mimpi. Hal-hal inilah yang kemudian dijual kepada khalayak sebagai sesuatu yang juga mereka kehendaki, sesuatu yang juga mencerminkan diri mereka, yang istilah anak mudanya “gue banget”. Jadi musik bukanlah suatu karya seni bernilai tinggi dengan melalui sebuah proses yang serius dan terstruktur namun hanya sekedar refleksi dari kehidupan yang dijalani dan akan dinikmati selama itu menyenangkan dan menghibur untuk sementara waktu dari kegundahan dan pelampiasan dari realitas yang tidak ideal. Menurut Adorno fenomena-fenomena kultural seperti musik pop berfungsi sebagai suatu bentuk “perekat sosial”, menempatkan orang pada realitas kehidupan yang mereka jalani. Hal ini karena kebanyakan orang di dalam masyarakat kapitalis menjalani kehidupan yang dimiskinkan dan tidak bahagia. Khayalan dan kebahagiaan, resolusi dan rekonsiliasi, yang ditawarkan oleh musik pop membuat orang sadar betapa banyak kehidupan nyata mereka kehilangan ciri-ciri tersebut, betapa mereka merasa belum terpenuhi dan terpuaskan (Strinati, 2004: 77).

Maka jika dikatakan musik adalah sebagai pelarian dimana mereka dapat berhalusinasi tentang keadaan ideal merupakan suatu hal yang dapat diterima ketika banyak realitas di lapangan yang bertentangan dengan kehendak ideal mereka tentang kebahagiaan dan kemapanan. Dan bisa juga halusinasi ini muncul karena memang dikonstruksi oleh pasar sehingga terbentuklah konsep-konsep ideal dalam diri anak muda yang menginginkan keutuhan yang sempurna.

Maka wajar jika genre musik yang ditelurkan oleh anak-anak muda sekarang memiliki standar dan model yang sama karena mengikuti selera pasar dan memenuhi keinginan khalayak secara umum yang tak lain dan tak bukan membicarakan tentang kesadaran palsu yang penuh angan-angan dan mimpi. Namun dari sudut pandang orang-orang yang bergerak dalam industri musik hal yang dipentingkan di sini adalah bagaimana musik dapat diterima dan laku di pasaran yang mencerminkan aspek konsumsi dan proses produksi yang merupakan ciri masyarakat kapitalis. Berdasarkan pandangan Adorno orang tidak perlu bertahan dengan standardisasi musik untuk jangka panjang yang sangat lama, sehingga rasa individualisme yang ada di dalam proses konsumsi musik dapat dilestarikan. Maka dari itu “korelasi standardisasi musik yang terjadi adalah individualisasi semu” (Strinati, 2004: 74). Adorno menyebut individualisasi semu (pseudo-individualization) karena “standardization of song hits keeps the customer in line by doing their listening for them, as it were. Pseudo-individualization, for its part, keeps them in line by making them forget that what they listen to is already listened to for them, or “pre-digested” “(Storey, 1996: 94).

Jadi bisa dikatakan anak-anak muda yang menjadi konsumen musik adalah korban dari pelanggengan status quo yang dihendaki oleh pasar. Hasrat tentang impian dan angan-angan kebahagiaan serta identitas yang dihembuskan melalui keberadaan industri musik harus tetap dipertahankan agar pasar tetap berjalan dan tidak terganggu oleh perlawanan dan gusuran ide-ide dari pihak-pihak yang berseberangan.

Musik dalam konteks sekarang terutama musik populer telah menancapkan eksistensi dan pengaruhnya di kalangan anak muda di mana industri musik yang menentukan penggunaan nilai produk yang diproduksinya. Pada orang yang mengkonsumsinya secara pasif mungkin baik, namun yang parah adalah ketika mereka telah menjadi orang dibodohi dalam hal budaya di mana mereka dimanipulasi secara ideologis oleh musik yang mereka konsumsi. Rosselson menegaskan bahwa “the music industry gives ‘the public what they want it to want’ “ (Storey, 1996: 96). Ini maksudnya adalah bagaimana sesuatu yang diproduksi menentukan bagaimana dia dikonsumsi. Industri musik adalah industri kapitalis, sehingga produknya adalah produk kapitalis dan pada saat yang sama melahirkan ideologi kapitalis. Jadi ini merupakan sebuah hal yang sifatnya sepaket dan tidak terpisahkan. Dengan konsep yang tersistematis seperti inilah industri ini tetap bertahan.

Tentunya dalam kapitalisme sendiri yang menjadi pokoknya adalah produksi dan konsumsi untuk tujuan keuntungan. Sedangkan efek pada orang yang mengkonsumsi musik pop adalah semacam “perekat sosial” dimana kenikmatan dan katarsisme-nya membuat orang untuk berhenti pada realitas kehidupan yang keras dan hambar dari sebuah masyarakat kapitalis (Strinati, 2004: 78). Dan musik ini adalah pencegah orang untuk melawan dominasi kapitalisme itu sendiri karena secara tidak sadar mereka telah terhegemoni oleh nuansa dan gaya hidup itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh James Lull bahwa;

Sheer repetition of ideological themes can send ideas deep into audience members’ individual and collective consciousness. The persuasive effect is always working; it doesn’t occur only at the moment of exposure. Particular expressions, and the values and assumptions they uphold, reside like a recessive inventory of ideas in the memory system of people. These ideological memory traces are evoked contextually. (Lull, 2000: 22)

Konsumsi menurut Storey adalah “always more than an economic activity—the consuming of products/the use of commodities to satisfy material needs. Consumption is also about dreams and desires, identities and communication” (Storey, 1996: 132).

Melihat definisi konsumsi di atas maka industri musik yang menjual kebahagiaan semu, identitas dan angan-angan bagi kaum muda telah merepresentasikan secara tidak langsung ideologi kapitalisme yang dibawa oleh industri musik itu sendiri. Dalam industri musik begitulah sistemnya bekerja. Anak-anak muda dirayu oleh lirik-lirik dan lantunan musik yang mengasyikkan kemudian muncul hasrat untuk melampiaskan hasrat dan kekosongan dengan terus mendengarkan musik tersebut dengan cara memilikinya, tak cukup hanya itu tapi juga ikut serta menghayatinya dengan menjadi bagian dari fans grup musik atau artis yang disukainya tersebut. Kemudian diteruskan dengan mengikuti perkembangan musik tersebut melalui majalah-majalah musik dan mengikuti konser-konsernya. Ini adalah sebuah aliran konsumsi yang secara tidak sadar dilakukan oleh anak muda untuk memuaskan dirinya dan memperlihatkan siapa dirinya. Dan seolah-olah dia melebur dengan orang-orang yang senasib dan sepenanggungan dengan dirinya ketika merasakan bahwa musik yang didengarnya “gue banget”.

Subkultur Anak Muda dan Musik

Di sisi lain anak muda yang hasrat-hasratnya yang dipasung dan mengalami ketidaknyaman dengan kemapanan yang ada membuat haluan yang berseberangan dengan mainstream yang ada. Kondisi ini menggambarkan kondisi anak muda yang tengah berada di persimpangan jalan yaitu apakah terbentuknya haluan baru ini adalah sebuah bentuk “perlawanan” ataukah “pelarian” dari keterasingan di dunia yang penuh dominasi dan tarik menarik kekuasaan. Kelompok anak-anak muda ini digolongkan oleh kajian budaya pada kelompok subkultur.

Ciri subkultur dalam kajian budaya menurut Barker (2005: 427) awalan “sub” berkonotasi dengan kekhasan dan perbedaan dari masyarakat dominan atau mainstream. Ini dipertegas lagi oleh Thornton (dalam Barker, 2005: 427)) dengan kata lain, subkultur dikutuk dengan dan/atau menikmati suatu kesadaran “kelainan” (“otherness”) atau perbedaan.

Subkultur anak muda dicirikan dengan dengan perkembangan gaya-gaya tertentu diantaranya adalah musik, cara berpakaian, ritual, dan jargon. Kemunculan ide subkultur yang dipelopori anak-anak muda ini yang mengejawantah melalui musik underground adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sehingga fenomena ini tidak lepas dari persoalan kelas.

Fenomena Band Underground dalam Industri Musik di Indonesia

Musik underground masuk ke Indonesia pada era 80-an diimpor dalam bentuk komoditas industri yang dimotori oleh perusahaan rekaman indie. Jenis musik ini diterima oleh kalangan muda yang anti kemapanan dan kemudian berinisiatif membuat band yang sama.

Dalam perjalanannya identitas komunitas musik ini di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pergolakan sosial, politik, ekonomi. Beberapa peristiwa penting di tahun 1994 seperti pemberedelan media oleh pemerintah Orde Baru, membawa semangat perlawanan dan gerakan underground (bawah tanah) yang memperjuangkan kemerdekaan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Dalam lirik-lirik lagu mereka terlihat penentangan terhadap penindasan dan totalitarianisme. Dengan konsep lirik yang emosional dan sarkastik mereka menumpahkan semua kegalauan dan kegelisahan terhadap ketidakadilan sistem kekuasaan.

Pada tahun 1994 tersebut, aksi perlawanan muncul dalam bentuk demonstrasi, penerbitan media-media independen, dan pertunjukan-pertunjukan musik. Pada kurun waktu pertengahan `90-an, ruang seperti GOR Saparua menjadi tempat penting bagi pertemuan komunitas underground Bandung (Robby Nugraha, "PR", 12/2/08). Pada masa-masa ini komunitas underground menjamur di kota Bandung dan Jakarta. Mereka kerap melaksanakan pertunjukan-pertunjukan atas solidaritas dari pendukung-pendukung komunitas ini.

Memasuki tahun 2000-an karakter militansi dan kekompakan komunitas underground mulai berkurang karena akses terhadap ruang pertunjukan dibatasi dengan cara pengelola meningkatkan harga sewa sehingga tidak terjangkau lagi. Dalam memproduksi album pun mereka lebih menempuh jalur indie label. Hampir seluruh kelompok musik ini menolak komersialisasi oleh perusahaan besar.

Namun kondisi krisis di atas membuat mereka berupaya untuk mendapatkan pemasukan untuk kelangsungan band mereka. Komunitas ini lalu menciptakan "pasar" sendiri untuk melawan pasar besar yang sedemikian mapan. "Pasar" mereka melalui jalur distribusi sendiri yang lebih dikenal sebagai distro. Tidak hanya kaset, kemudian distro ini juga menjual atribut-atribut underground tersebut. Musik dan mode seperti bersimbiosis di mana keduanya saling mendukung. Bahkan dari sisi fesyen dari sisi gaya berpakaian, model rambut, dandanan wajah pun mereka memiliki ciri tersendiri yang akhirnya menjadi model bagi anak-anak muda zaman sekarang lepas dari apakah mereka menganut ideologi punk underground ataukah tidak.

Ironisnya di sini bahwa lambat laun pun mereka (grup underground) telah terseret ke arus pasar bebas dan model sistem industri budaya yang dilakukan oleh kapitalisme walaupun semangatnya tetap menolak kemapanan. Satu hal yang sulit dibantah adalah bahwa musik dan mode memang berhubungan dan saling menguntungkan. Dan mereka membutuhkan industri ini tetap berjalan untuk kelangsungan eksistensi mereka.

Dan yang menarik lagi adalah fenomena menceburnya beberapa grup underground ini ke salah satu major label terbesar di negeri ini yang sifatnya komersial. Sebut saja grup band underground Burgerkill asal Bandung yang dulunya konsisten dengan perusahaan rekaman indie sekarang justru mereka bergabung dengan Sony Music Entertainment Indonesia. Dan mengejutkannya lagi Burgerkill mengikuti sebuah festival musik dan masuk kedalam nominasi pada salah satu event Achievement musik terbesar di Indonesia "Ami Awards". Dan secara mengejutkan mereka berhasil menyabet award tahunan tersebut untuk kategori "Best Metal Production". Padahal konsep dari band underground sendiri menolak hal-hal yang berbau kemapanan dan industri kapitalis yang telah menggurita dalam industri musik Indonesia (http://www.balipost.com).

Kapitalisme tidak sekedar berpuas diri dengan apa yang telah diusahakannya secara terang-terangan namun juga berusaha mencengkram wilayah-wilayah lain yang berseberangan dengan pemahamannya dan dengan cantik menghegemoninya melalui kekuasaan agar menjadi sesuatu yang homogen. Dalam kapitalisme semuanya mungkin untuk masuk ke ranah permainannya. Adanya pencairan-pencairan gagasan dan penyajian seperti konsep global yang dilokalkan selama tidak menghilangkan prinsip dasar yaitu produksi dan konsumsi adalah sah-sah saja bagi industri budaya kapitalisme.

Jika melihat pada argumentasi naïf Herbert J. Gans bahwa;

“in order to produce culture cheaply enough so that people of ordinary income can afford it, the creators of popular culture, faced with a heterogeneous audience, must appeal to the aesthetic standards it holds in common, and emphasize content that will be meaningful to as many in the audience as possible” (Gans, 1974: 22)

Maka wajar jika kapitalisme dapat berkompromi dalam berbagai cara dan bentuk selama menawarkan produk standar estetika sehingga distandarkan untuk memenuhi kebutuhan audiens yang heterogen serta lebih mementingkan isi yang bermanfat untuk audiens yang banyak”. Jadi tujuan intinya di sini adalah menjaring konsumen sebanyak-banyaknya sehingga mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda bagi aktor-aktor di balik industri budaya.

Menurut Idy Subandi Ibrahim, underground haruslah juga dipahami dalam konteks kapitalisasi budaya, di mana dalam konteks ini aliran musik seperti ini bukanlah semata sebagai arena ekspresi resistensi kultural, tetapi justru untuk merebut pangsa pasar pendengar, yakni subkultur anak muda yang tengah panik mencari dan mendefinisikan identitasnya. Sehingga ia juga bisa menjadi ajang “pelarian” dari dunia yang dirasa rumit, “escape from problem”. Karena itulah, aliran musik ini sebenarnya masuk dalam sebuah dunia yang terbelah: Di satu sisi, ia bisa menjadi cermin pemberontakan atau pembangkangan anak muda terhadap hegemoni kapitalisme yang memasung kreativitas dan memoles warna musik yang seragam dan kental warna pasarnya. Di sisi lain ia justru menjadi ajang “pelarian” dari sistem sosial dan politik yang terus menerus mengalami pembusukan (social and political decay) sambil mendesakkan diri untuk menjadi bagian dari subordinat dan ruang hegemoni kapitalisme baru (Ibrahim, 2007: 94).

Maka semua akan senantiasa berjalan sebagaimana adanya dan orang-orang tetap berkoar-koar tentang identitas mereka yang anti kemapanan dan ketidakadilan yang disajikan oleh musuh mereka sendiri. Pada akhirnya mereka melawan dengan kapitalisme itu sendiri.

Referensi:

Barker, Chris, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Bandung, Bentang Pustaka, 2005.

Gans, Herbert, Popular Culture and High Culture: An Anaysis and Eveluation of Taste, New York, Basic Books, Inc Publishers, 1974.

Ibrahim, Idy Subandi, Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di IndonesiaKontemporer, Yogyakarta, Jalasutra, 2007.

Lull, James, Media, Communication, Culture: A Global Approach, Polity Press. 2000.

Strinati, Dominic, Popular Culture: Pengantar menuju Teori Budaya Populer, Bandung, Bentang Pustaka, 2004.

Storey, John, Cultural Studies and The Study of Popular Culture: Theories and Methods, Edinburgh, Edinburgh University Press, 1996.

http://www.balipost.com/balipostcetaK/2003/12/21/g1.html

http://www.burgerkillofficial.com/mainsite/bk-links.php

Search